Mengabdikepada Allah adalah salah satu praktik mendasar dalam menempuh jalan tasawuf. Niat pengabdian dan penghambaan diri hanya kepda Allah pada akhirnya membuahkan rasa Cinta. Berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia. 31 Manusia modern adalah manusia yang berfikir logis dan mampu menggunakan berbagai Jikamanusia melakukan penghambaan kepada selain Allah, ia Keikhlasan juga merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal saleh, bahkan ia yang paling utama. Hal ini Oleh karena itu, hal pertama yang dilihat manusia ketika membaca doa adalah bahasa abstrak karena Allah 174 pasti mendengar lantunan doa dari hamba-Nya ALLAHmenciptakan manusia dengan tujuan yang luar biasa. Dia menciptakan pria dan wanita pertama, yaitu Adam dan Hawa, untuk tinggal di sebuah taman yang indah. Allah ingin mereka beranak cucu, membuat seluruh bumi menjadi firdaus, dan mengurus binatang. Itulah yang juga Allah inginkan bagi semua manusia. Tujuan Allah belum berubah. Manusiasebagai Khalifah. Manusia memiliki kedudukan di bumi sebagai khalifah dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 berikut. Artinya: "Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Istilah khalifah, dalam bentuk mufrad (tunggal) dapat diartikan sebagai penguasa politik, yaitu hanya ditujukan kepada nabi-nabi. Maknadoa bercermin. foto: freepik.com. 1. Tanda syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Di mata Allah, tingginya derajat diukur dari amal ibadah dan perbuatan. Bukan dari paras cantik maupun tampan. Sebab itu, seperti apapun bentuk wajah yang kamu miliki, tetaplah bersyukur sebagaimana mestinya. Firman Allah SWT dalam Surat At Taghaabun Akhlakkepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Allah sebagai khaliq. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah SWT. Pertama, karena Allah SWT -lah yang menciptakan manusia. Dia yang menciptakan manusia dari air yang xmjdGh. Wujud penghambatan manusia kepada Allah SWT adalah salah satu dari ibadah shalat. Penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau al-ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang maha sempurna, maha kaya, maha tinggi dan maha Subhanahu wa Ta’ala berfirman{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu lagi Maha Terpuji” QS Faathir 15.Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa manusia pada zatnya butuh dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memenuhi kebutuhan mereka lahir dan batin, dalam semua arti kebutuhan dan ketergantungan, baik itu disadari oleh mereka maupun tidak. Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman dan selalu mendapat limpahan taufik-Nya, mereka selalu mempersaksikan ketergantungan dan kebutuhan ini dalam semua urusan dunia maupun agama. Maka mereka selalu merendahkan diri dan memohon dengan sungguh-sungguh agar Dia Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong dan memudahkan segala urusan mereka, serta tidak menjadikan mereka bersandar kepada diri mereka sendiri meskipun hanya sekejap mata[1 Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ini termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang “… Ya Allah! jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri meskipun cuma sekejap mata” HR an-Nasa-i 6/147 dan al-Hakim no. 2000, dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” 1/449, no. 227]. Mereka inilah yang selalu mendapatkan pertolongan dan limpahan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala[2. Lihat keterangan Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisiirul Kariimir Rahmaan” hal. 687].Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Kesempurnaan makhluk manusia adalah dengan merealisasikan al-ubudiyyah penghambaan diri kepada Allah, dan semakin bertambah kuat realisasi penghambaan diri seorang hamba kepada Allah Ta’ala maka semakin bertambah pula kesempurnaannya kemuliaannya dan semakin tinggi derajatnya di sisi Allah Ta’ala.Dan barangsiapa yang menyangka dengan keliru bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah tidak terkena kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala dalam satu sisi, atau dia menyangka bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna utama, maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”[3. Kitab “al-Ubuudiyyah” hal 57 – Tahqiiq Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, cet. Darul ashaalah].Makna dan hakikat al-ubudiyyahOrang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaSombong dan membanggakan diri, perusak al-ubudiyyahPenutupMakna dan hakikat al-ubudiyyahal-Ubudiyyah penghambaan diri atau ibadah adalah sesuatu yang menghimpun rasa cinta yang utuh disertai sikap merendahkan diri yang sempurna[4. Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “al-Ubuudiyyah” hal. 94 dan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Thariiqul hijratain” hal. 510]. Maka tidaklah dikatakan suatu perbuatan sebagai ibadah atau penghambaan diri jika tidak disertai dua hal Islam Ibnu Taimiyah berkata “Ibadah atau penghambaan diri mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan puncak sikap Menghinakan merendahkan diri. Sehingga sesuatu yang dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka tidaklah disebut sebagai sesembahan sesuatu yang diibadahi. Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah disebut sebagai sesembahan sesuatu yang diibadahi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” QS al-Baqarah 165”[5. Kitab “Majmu’ul fata-wa” 10/56].Imam Ibnul Qayyim berkata “Tidak ada jalan menuju keridhaan Allah yang lebih dekat dari jalan al-Ubudiyyah penghambaan diri kepada Allah Ta’ala dan tidak ada hijab penghalang menuju keridhaan-Nya yang lebih tebal dari pengakuan membanggakan dan kagum dengan diri sendiri. Penghambaan diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-Ubudiyyah, yaitu kecintaan yang utuh dan penghinaan diri yang sempurna kepada Allah Ta’ala.Kedua lndasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan besarnya anugrah dan kurunia dari Allah Ta’ala bagi hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua keburukan, yang ini akan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Ta’ala, dan mempersaksikan besarnya kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan sikap merendahkan diri yang sempurna kepada Allah Ta’ala”[6. Kitab “al-Waabilush shayyib” hal. 15 – cet. Dar al-kitab al-Arabi].Imam al-Qurthubi berkata “Barangsiapa yang selalu taat dan beribadah kepada Allah, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan hatinya dengan perintah-Nya, maka dialah yang paling berhak mendapatkan nama al-Ubudiyyah hamba Allah sejati. Dan barangsiapa yang melakukan kebalikan dari semua itu, maka dia termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ}“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” QS al-A’raaf 179[7. Kitab “Tafsir al-Qurthubi” 13/67-68].Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”[8. HR at-Tirmidzi 4/577, Ibnu Majah no. 4126 dan al-Hakim 4/358, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani].Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[8. Lihat kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” hal. 34 dan “Tuhfatul ahwadzi” 7/16].Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah yang menjadikan bertingkat-tingkatnya kedudukan dan keutamaan manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga seorang hamba yang kelihatannya banyak berbuat kebaikan dan amal shaleh tapi di dalam hatinya tidak terdapat hakikat penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sebaliknya, dia bersifat sombong, bangga diri dan lupa menisbatkan taufik kebaikan yang dikerjakannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hamba ini adalah hamba yang buruk dan tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ Ahmad menukil dari salah seorang ulama Salaf, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada ulama ini Sungguh aku melaksanakan shalat lalu aku menangis tersedu-sedu sampai-sampai hampir bisa tumbuh sayuran karena derasnya air mataku. Maka ulama inipun berkata kepadanya “Sungguh jika kamu tertawa tapi kamu mengakui dosa-dosamu lebih baik dari pada kamu menangis tapi kamu menyebut-nyebut membanggakan amalmu, karena sesungguhnya shalat orang yang menyebut-nyebut membanggakan amalnya tidak akan naik ke atas tidak diterima/diridhai Allah Ta’ala”[9. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfaan” 1/89].Inilah makna ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari salah seorang ulama Salaf yang berkata “Sungguh ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa tapi karena dosa itu dia masuk Surga, dan ada seorang hamba lain yang melakukan kebaikan tapi karena kebaikan itu dia masuk Neraka”. Orang-orang bertanya dengan keheranan Bagaimana itu bisa terjadi?Ulama tersebut berkata “Hamba yang berbuat dosa, lalu setelah itu dosa tersebut selalu ada di hadapan kedua matanya karena dia takut dan khawatir dirinya akan binasa, maka dia selalu menangis, menyesali perbuatan dosa itu, merasa malu kepada Allah Ta’ala, menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan merasa hatinya remuk di hadapan-Nya. Maka dosa yang diperbuatnya itu lebih bermanfaat bagi hamba ini dari pada banyak amal ketaatan, karena dampak yang muncul setelah itu berupa hal-hal sikap takut dan merendahkan diri/ penghambaan diri yang sempurna yang dengan itulah seorang hamba meraih kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat. Sehingga dosa yang dilakukannya justru menjadi sebab dia masuk hamba yang melakukan kebaikan, tapi setelah itu dia selalu menyebut-nyebut kebaikan tersebut di hadapan Allah, merasa sombong, bangga, merasa dirinya besar dengan kebaikan tersebut dan dia berkata aku telah melakukan banyak kebaikan. Maka kebaikan tersebut justru menimbulkan sifat sombong, bangga diri dan angkuh yang menjadi sebab kebinasaannya karena dia tidak merendahkan dirinya di hadapan Allah, padahal Dialah yang memudahkan bagi hamba tersebut untuk melakukan kebaikan itu”[10. Kitab “al-Waabilush shayyib” hal. 13 – cet. Dar al-kitab al-Arabi].Orang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaMereka adalah orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan utuh dan sempurna, sehingga mereka selalu bersegera dan berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersamaan dengan itu, mereka tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul-Nya dengan sifat ini dalam firman-Nya{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka selalu berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ dalam beribadah” QS al-Anbiyaa’ 90.Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam firman-Nya{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari, sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” QS as-Sajdah 16.Juga tentang sifat-sifat mulia para Shahabat radhiallahu’anhum dalam firman-Nya{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا، سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia para Shahabat radhiallahu’anhum bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” QS al-Fath 29.Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna “tanda-tanda pada wajah mereka” dalam ayat ini “Yaitu Khusyu’ dalam shalat dan tawadhu’ sikap merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”[ oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau 4/260].Inilah makna al-ubudiyyah al-khaashshah penghambaan diri yang khusus yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an, dengan mereka disebut sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sejati’ dan digandengakan-Nya mereka dengan nama-Nya yang maha mulia, yang mana penggandengan ini mengandung arti “idha-fatu at-tasriif” kemuliaan dan keagungan bagi mereka[12. Lihat kitab “Mada-rijus saalikiin” 1/105, “at-Tahriir wat tanwiir” hal. 3910 dan “Fathul Majiid” hal. 429].Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai hamba-Nya{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” QS al-Israa’ 1.Juga firman-Nya{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam?” QS az-Zumar 36.Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah manusia yang paling sempurna dalam menunaikan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[13. Lihat kitab “Fathul Majiid” hal. 41].Sebagaimana sifat ini juga yang Allah jadikan sebagai kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya[14. Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” 13/67] dalam firman-Nya{وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا. وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}“Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri melksanakan shalat malam untuk Rabb mereka Allah Ta’ala” QS al-Furqaan 63-64.Sombong dan membanggakan diri, perusak al-ubudiyyahDari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda “Tidaklah masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat biji debu”. Ada yang bertanya Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sesungguhnya setiap orang senang memakai baju yang bagus dan alas kaki yang indah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran karena congkak dan merendahkan manusia“[15. HSR Muslim no. 91].Hadits ini menunjukkan bahwa sifat sombong dan membanggakan diri merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan bertentangan dengan sifat al-ubudiyyah yang hakikatnya adalah sikap merendahkan diri dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ Islam Ibnu Taimiyah berkata “Hakikat Islam adalah kepasrahan dan ketundukan diri seorang muslim hanya kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Karena orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka dia adalah seorang musyrik berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana orang yang menolak agama Islam maka dia adalah hakikat agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan dalam kitab-kitab-Nya. Yaitu kepasrahan dan ketundukan diri seorang hamba hanya kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Maka orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka dia adalah seorang musyrik berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana orang yang menolak agama Islam maka dia adalah orang yang menyombongkan hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda bahwa “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat biji debu“[16. HSR Muslim no. 91]. Sebagaimana Neraka tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada keimanan meskipun seberat biji debu. Maka dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan sifat sombong sebagai lawan dari keimanan, karena sesungguhnya sifat sombong itu meruntuhkan hakikat al-ubudiyyah penghambaan diri seorang hamba. Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda Allah berfirman “Keagungan adalah sarung-Ku dan kebesaran adalah selendang-Ku, maka barangsiapa melawan-Ku dengan merasa memiliki salah satu dari kedua sifat itu maka Aku akan mengazabnya“[17. HR Abu Dawud no. 4090 dan Ibnu Majah no. 4174, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani].Maka sifat keagungan dan kebesaran termasuk sifat-sifat yang khusus dalam rububiyah Allah sifat-sifat Allah, seperti menciptakan, mengatur dan menguasai alam semesta beserta isinya. Dan sifat kebesaran lebih tinggi dari sifat keagungan, oleh karena itu, sifat kebesaran dijadikan pada kedudukan selendang, sebagaimana sifat keagungan dijadikan pada kedudukan sarung[18. Kitab “al-Ubuudiyyah” hal. 30].Oleh karena itu, seorang hamba yang selalu merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik dan lebih mulia dari pada seorang yang selalu membanggakan dirinya meskipun amal ibadahnya terlihat Mutharrif bin Abdillah bin asy-Syikhkhiir[19. Beliau adalah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in senior yang mulia dan sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau wafat tahun 95 H lihat kitab “Taqriibut tahdziib” hal. 534] berkata “Sungguh jika aku tertidur di malam hari tapi aku bangun di pagi hari dalam keadaan menyesali dosa-dosaku lebih aku sukai dari pada aku berdiri beribadah di malam hari tapi ketika di pagi hari aku bangga dengan diriku sendiri”. Imam adz-Dzahabi menukil ucapan beliau ini, lalu beliau mengomentari “Demi Allah, tidak akan beruntung orang yang menganggap dirinya suci atau bangga dengan dirinya sendiri”[20. Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” 4/190].PenutupAllah Ta’ala berfirman menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang telah menyempurnakan sifat al-ubudiyyah sehingga mereka meraih predikat takwa kepada-Nya{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ}“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan maksiat di muka bumi, dan kesudahan yang baik itu surga adalah bagi orang-orang yang bertakwa” QS Al Qashash83.Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata “Jika mereka orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan maksiat di muka bumi, maka konsekwensinya berarti keinginan mereka hanya tertuju kepada Allah, tujuan mereka hanya mempersiapkan bekal untuk negeri akhirat, dan keadan mereka sewaktu di dunia selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik surga dari Allah Subhanahu wa Ta’ala”[21. Kitab “Taisiirul kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamil Mannaan” hal. 453].Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan kepada-Nya yang merupakan sebab keberuntungan kita di dunia dan akhirat, الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين***Penulis Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., MAKNA PENGHAMBAAN DALAM ISLAMOleh Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal IftaPertanyaan. Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya Telah jelas dan gamblang bahwa Islam datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan dan perbudakan. Para ulama sering mengungkapkan tujuan datangnya Islam ini, yaitu menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang merdeka dari selainNya. Kami berharap Anda mau mejelaskan kepada kami dengan singkat arti penghambaan di dalam Islam, bagaimana pula cara seorang budak dapat bebas dari tuannya dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Sebagai tambahan, kami juga minta dijelaskan, apa hikmah diangkatnya sahabat Anas sebagai pembantu Nabi dan juga hikmah Umar mengangkat seorang anak sebagai Makna penghambaan atau perbudakan dalam Islam ialah tunduk dan merendahkan diri serta patuh kepada Allah, dengan mentaati perintah-perintahNya, meninggalkan larangan-laranganNya, selalu berada pada jalanNya dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya sekaligus mengharap pahala dan berhati-hati dari kemarahan serta dan penghambaan yang sesungguhnya sebagaimana yang dimaksud dalam makna yang dijelaskan di atas tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada Allah semata. Adapun perbudakan sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah Islam adalah perbudakan yang muncul karena sebab tertawannya orang-orang kafir oleh kaum muslimin ketika terjadi perang yang memang disyari’atkan, yang ini tidak termasuk perbudakan sesungguhnya.Adapun bagaimana cara seorang budak membebaskan diri dari tuannya telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab Al-Itqu. Di antaranya, seorang budak merdeka karena dimerdekakan oleh tuannya sebagai bentuk taqarub mendekatkan diri kepada Allah, atau dibebaskan sebagai tebusan dari tindak pembunuhan, zhihar atau yang mengangkat pembantu, maka jelas dibolehkan sebagaimana diceritakan dalam hadits Anas dan hadits-hadits lainnya. Nabi mengangkat Anas sebagai pembantu adalah agar dia membantu menyelesaikan keperluan-keperluan beliau dan urusan-urusan khusus, serta agar dia bisa mengetahui adab dan akhlak beliau sehingga bisa meniru dan mencontohnya.Mengangkat pembantu jelas tidak bertentangan, karena bukan penghambaan yang sesungguhnya yang memang merupakan hak Allah shalawat tercurah kepada Nabi, keluarganya dan sahabat-shabatnya.[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/87, Fatwa no. 7150 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 2/I/Syawwal 1423H Hal. 8] Home /A3. Aqidah Tauhid Soal.../Makna Penghambaan Dalam Islam Manusia Harus Menyadari Statusnya Sebagai Hamba Allah. Foto Bertaubat. Ilustrasi - Menurut Syekh Ibnu Atha'illah dalam Kitab Al-Hikam, manusia harus menyadari statusnya sebagai seorang hamba Allah. Maka manusia tidak boleh melupakan statusnya sebagai seorang hamba Allah dalam kesehariannya. Sebagai seorang hamba Allah, manusia dilarang mengklaim sifat-sifat Allah seperti mengklaim diri paling berkuasa, paling perkasa, paling mulia, paling tinggi dan lain sebagainya. Karena klaim seperti itu adalah kesombongan, sementara Allah tidak menyukai kesombongan. "Allah melarang kamu mengklaim atau mengakui sesuatu yang bukan hak kamu, karena itu hak orang lain. Maka apakah mungkin Allah akan mengizinkan kamu mengklaim atau mengakui sifat-sifat Allah padahal Allah yang memelihara, mengatur, dan menjamin seisi alam." Syekh Atha'illah, Al-Hikam.Terjemah kitab Al-Hikam oleh Ustaz Bahreisy menambah penjelasan perkataan Syekh Atha'illah dengan mengutip hadist-hadist ini. Ibn Abbas mengatakan, Rasulullah SAW telah bersabda, "Allah telah bersabda, kesombongan itu pakaian-Ku selendang-Ku, dan kebesaran itu sebagai sarung-Ku, maka siapa yang akan bersaing dengan Aku dalam salah satu sifat itu, Aku melemparkannya ke dalam neraka."Memang sebaik-baiknya seorang hamba adalah yang mengakui dan menyadari sifat-sifat seorang hamba. Sejahat-jahat seorang hamba adalah yang tidak menyadari kehambaan dirinya. Sejahat-jahatnya seorang hamba merasa seolah-olah memiliki kekuatan, kekuasaan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah hak Allah dan sifat-sifat utama bagi Allah Ta' seorang hamba menginginkan semua sifat itu, maka caranya dapat dengan menyandarkan diri kepada Allah yang memiliki semua SAW bersabda, "Tidak ada seorang yang lebih cemburu dari Allah karena itu Allah mengharamkan segala perbuatan yang keji. Karena itu pula Allah tidak akan mengampuni orang yang menyukutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena itu pula sifat-sifat kesempurnaan Allah, tidak boleh dikurangi walau sedikitpun." BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini – Setelah sebelumnya saya membahas perihal perbedaan mushaf dan al-Quran, kali ini kami membahas tentang salat. Lebih tepatnya membahas tentang wujud penghambaan manusia kepada Allah adalah salah satu dari makna ibadah tertarik membahas lantaran banayak orang menjawab dengan jawaban salah perihal pertanyaan ini. Pertanyaannya sebagaimana berikutWujud penghambaan manusia kepada Allah adalah salah satu dari … ibadah salatA. HIKMAHB. MAKNAC. SYARATD. RUKUNAnehnya, banyak saja yang masih menjawab dengan keliruJawaban tersebut jelas keliru, dengan beberapa alasan. Tidak ada rukun salat yang berupa wujud penghambaan manusia kepada Allah. Kedua, jawaban yang benar sebagaimana dalam buku agama Islam kelas 4 halaman 120 adalah makna. Hal itu selaras dengan apa yang ada dalam bab yang ada di Ihya’ Ulumid-Din. Ada bab khusus dalam kitab Ihya’ mengenai makna salat. Bab tersebut sebagaimana berikutبيان المعاني الباطنة التي تتم بها حياة الصلاة“Menjelaskan beberapa makna batin yang mana dengannya salat dapat hidup”Beliau menjelaskan makna di sana denganإعلم أن هذه المعاني تكثر العبارات عنها ولكن يجمعها ست جمل وهي حُضُورُ الْقَلْبِ وَالتَّفَهُّمُ وَالتَّعْظِيمُ وَالْهَيْبَةُ وَالرَّجَاءُ وَالْحَيَاءُ“Ketahuilah bahwa mengungkapkan beberapa makna ini membutuhkan penjelasan panjang. Hanya saja, semua itu berkumpul dalam enam poin, yakni 1 Kehadiran hati, 2 Memahami, 3 Takzim, 4 Haibah, 5 Raja’, 6 Rasa malu.”Lantas beliau di beberapa penjelasan berikutnya menuturkan penyebab seseorang bisa mendapatkan makna batin tersebut. Ada enam penyebab yang beliau sebutkan. Namun, kami fokus kepada penyebab yang kedua, yakni mengetahui bahwa jiwa ini hina dan kita ini merupakan hamba. Hal ini yang dimaksud dengan wujud penghambaan manusia kepada Allah. Imam al-Ghazali menjelaskanالثَّانِيَةُ مَعْرِفَةُ حَقَارَةِ النَّفْسِ وَخِسَّتِهَا وَكَوْنِهَا عَبْدًا مُسَخَّرًا مَرْبُوبًا حَتَّى يَتَوَلَّدَ مِنَ الْمَعْرِفَتَيْنِ الِاسْتِكَانَةُ وَالِانْكِسَارُ وَالْخُشُوعُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَيُعَبَّرُ عَنْهُ بِالتَّعْظِيمِ وما لم تمتزج معرفة حقارة النفس بمعرفة جلال الله لا تنتظم حالة التعظيم والخشوع فإن المستغني عن غيره الآمن على نفسه يجوز أن يعرف من غيره صفات العظمة ولا يكون الخشوع والتعظيم حاله لأن القرينة الأخرى وهي معرفة حقارة النفس وحاجتها لم تقترن إليه

wujud penghambaan manusia kepada allah adalah salah satu dari